Sabtu, 08 Oktober 2022

Hari Kesehatan Jiwa Sedunia, Diperingati Setiap Tanggal 10 Oktober

Mendengar kasus bunuh diri seorang mahasiswa PTN di Jogja kemarin, hati ini miris, sedih. Ditemukan surat keterangan psikolog di dalam tas anak tersebut. Semakin sedih kalau ada yang berkomentar kurang iman. Betul, hubungan antara kekuatan iman dan bunuh diri sangat erat, tapi rasanya kurang tepat jika hal tersebut dialamatkan pada anak yang mempunyai gangguan kesehatan jiwa.


Seperti diketahui baik dari data empiris maupun data statistik, bahwa penderita gangguan kesehatan jiwa tersebut rawan tindakan bunuh diri. Sebagai gampangnya pengertian untuk kita sebagai orang awam, anak dengan gangguan skizofrenia, borderline, bipolar, depresi itu mempunyai sudut pandang berbeda terhadap masalah, yang ujung-ujungnya pasti suicide (bunuh diri). Beda yang tiga pertama dan terakhir, kalau yang tiga pertama adalah kronis, sering dibutuhkan bantuan obat-obatan, dan kadang seumur hidup, karena juga berkaitan dengan ketidakseimbangan struktur elemen otak. Sedangkan depresi adalah akut, kadang dibutuhkan obat-obatan, akan tetapi kadang hanya dibutuhkan pendampingan dari anggota keluarga dan terapis atau tenaga profesional (psikolog).


Kasus bunuh diri pada anak dengan gangguan kesehatan jiwa tersebut lebih tinggi di luar negeri dari pada di dalam negeri. Kenapa? Karena diluar negeri, meskipun teknologi pengobatan lebih maju, tapi kekuatan kasih sayang keluarga sudah sangat jauh berkurang, dan kekuatan religi sudah hampir tidak ada. Jadi disini dapat disimpulkan, kalau memang faktor keimanan tersebut penting, tapi jangan dibalik logikanya dan digunakan sebagai judgement terhadap setiap kasus bunuh diri. Karena akan sedikit berbeda pada anak-anak khusus tsb.


Itulah sebabnya, kenapa pada setiap artikel tentang suicide pada situs berita yang bertanggungjawab selalu diakhiri dengan kata-kata: jika memerlukan bantuan harap menghubungi bla bla atau nomor sekian sekian. Karena fenomena ini seperti fenomena gunung es. Terlihat sedikit di permukaan, padahal sebenarnya banyak yang belum muncul di bawah permukaannya. Dan jangan salah, sebenarnya fenomena ini tidak hanya terjadi baru-baru ini saja, tapi sejak dulu, bahkan disekitarpun saya banyak menemuinya. Seorang kakak teman, yang ayahnya dokter, menderita skizo. Sepupu jauh suami juga menderita skizo. Seorang teman SMP saya dan ibunya, berdua mereka menderita skizo. Dan itu terjadi sekitar 30-35th yang lalu. Saat mereka usia dewasa muda. Karena waktu itu belum lazim gangguan kesehatan jiwa tersebut, penanganan terlambat, jadi mereka sekarang tidak bisa berkegiatan secara normal (kecuali yang ayahnya dokter tsb).


Mengapa saat ini lebih banyak terjadi? Gangguan kesehatan jiwa ini biasanya muncul saat usia dewasa muda. Banyak hal terjadi, baik secara normal hormonal, internal, maupun eksternal. Faktor eksternal ini lebih kuat lagi dari pada saat jaman kita, para orangtua, dahulu. Terbukanya komunikasi & informasi yang luas, tak terbendung dan global, pesatnya kemajuan tekhnologi, dll. Para orangtua, para tenaga pengajar, pendidik, harus peka terhadap apa yang terjadi pada anak. Tidak bisa lagi mengabaikan hal-hal kecil, dengan berkata, Ah kan hanya seperti itu. Karena memang tekanan, stressor jaman sekarang berbeda. Khusus untuk para pendidik, anak-anak seperti ini memang tidak terlihat. Tapi mereka biasanya terbuka pada temannya. Mungkin bisa dibicarakan tidak secara langsung ke ybs, tapi ke teman-temannya dahulu. Dan setahu saya, sekarang di tiap kampus sudah mempunya lembaga konseling, meski saya lihat belum maksimal penggunaanya.


Monggo, menjelang besok hari kesehatan jiwa, mari kita mulai aware terhadap apa yang terjadi di sekitar kita, di sekitar anak-anak kita, di dunia yang mulai berubah.  Berdoa, memohon pertolongan pada Allah tentu dan selalu, tapi ikhtiar juga harus. Salam sehat!





0 komentar:

Posting Komentar

 

My Notes Template by Ipietoon Cute Blog Design