Rabu, 25 Juli 2018

CABUT GIGI (PART 2)

Lanjut yaa..

Cabut gigi keenam baru saja kulakukan 6 hari yang lalu. Kali ini giliran gigi geraham nomor 5 kanan bawah yang sama-sama gingsul, tumbuh miring seperti yang kiri. Sudah dicoba dipertahankan, kali ini sudah gak bisa, dan malah merusak gigi-gigi sebelahnya. Harus tanya sana-sini, karena kali ini cabut gigi akan dilakukan di Jogja. 2 nama rekomen dokter sudah kukantongi, dari teman SMP, SMA dan keponakan. Akhirnya pilihan jatuh pada dokter S rekomen keponakan, karena katanya gak sakit dan gak bengkak, waktu dia operasi impaksi (gigi geraham tidur). Hari Jumat, aku telpon RS khusus Gigi dan Mulut untuk memastikan, ternyata doker S bukan SpBM. Aduh, muntir deh, takut, ya sudah gak jadi deh. Besok aja, di dokter B aja yang SpBM, kebetulan hari Sabtu jadi suami bisa antar.

Malam Minggu diantar suami dan anak-anak berangkat ke dokter B (praktek di rumah kalau sore), ternyata antri nunggu 3 orang lagi. Lihat-lihat, kok dokter praktek sendiri, gak dibantu perawat, agak njeper juga. Jadi ketika anak kelaperan dan minta makan malam dulu di mall deket situ, langsung kuiyain aja. Dan ternyata macet, selesai makan sudah jam 8 malem, praktek dokter sudah tutup. Ya sudah, besok Senin saja, kebetulan dokter B juga praktek di RS khusus Gigi dan Mulut. Pasti kalau di RS, Beliau dibantu perawat dan peralatan lebih lengkap. Singkat cerita, Senin menurut telpon, beliau praktek jam 12-14. Jam 13 aku sudah sampai RS, ternyata kata bagian pendaftaran di lantai 3, pak dokter sudah pulang, hanya ada 2 pasien pagi. “Lah gimana pak, tadi saya sudah telpon, katanya praktek jam 12-14”, kataku. Dengan santainya si bapak bilang, “Ya bagian depan kan enggak tau mbak”.. Gubrak deh, kalau bagian depan yang nomor telponnya di web gak tau, apa aku harus nanya pada rumput yang bergoyang? Yungalah..

Akhirnya dikasihlah nomor HP pak dokter B dan diminta janjian sendiri. Malamnya aku wa pak dokter, ternyata kata beliau seminggu ini tidak praktek di RS karena sedang membantu proses akreditasi akademik. Duh, nanti ketunda-tunda lagi deh. Ya sudah, Jumat aja lagi, gak papa lah dengan dokter S yang bukan SpBM, tapi kan rekomen keponakanku, dan praktek di RS. Hari jumat, tanpa telpon lagi, langsung datang ke RS, Beliau praktek jam 10-12. Setelah mendaftar, dipanggil, tensi, disuruh tunggu lagi. Sekitar setengah jam kemudian seorang perawat memanggil dan meminta maaf, bahwa dokter S tidak praktek hari itu. Aduuhh..

Ya sudahlah, pulang, dan dengan tekad bulat kuputuskan, gak papa deh nanti malem harus, ke tempat praktek dokter B yang Sabtu minggu lalu gak jadi, di rumah Beliau. Malemnya dengan nyetir sendiri, kutempuh jarak 9 km untuk cabut gigi. Hanya nunggu 1 pasien sebelumku, dan cepat. Setelah dipanggil, diperiksa, dan memang harus dicabut giginya. Deg-degan, so pasti. Posisi yang nyempil, miring dan gigi yang sudah agak rapuh membuat prosesnya agak lama. 4x kumur saat proses cabut, membuatku gemetaran. Darahnya banyak, meskipun yang terakhir sudah sedikit. Mana sempet air di gelasnya habis, harus isi dulu, nunggu, keburu darahnya netes-netes ini. Setelah selesai, lega sih tapi mesti istirahat dulu sebentar, duduk, supaya deg-degan dan gemetaran hilang, karena harus nyopir lagi ke apotek trus pulang. Di apotek menurut teori tinggal kasih resep, ternyata ditanya alamat dan nomor telpon. Masih gigit kapas nih, kasih kode tarzan yang bunyinya kira-kira, “Saya tulis aja ya mbak”. Gitu deh..

Singkat cerita, sampai rumah lepas kapas, minum obat, taruh kapas lagi. Lepas kapas, makan. Sampai tengah malam gak bisa tidur, karena perdarahan belum berhenti. Akhirnya gigit kapas lagi sejam. Lumayan gak berdarah lagi, cuman rembes, bisa tidur deh, meski paginya di bantal masih ada sedikit ceceran ludah bercampur darahnya. Minggu malam baru berhenti total rembesan darahnya, Alhamdulillah. Tapi senin pagi bawah lidahku tiba-tiba merah memar dan sariawan di lidah kiri kanan. Meski sudah wa dokter dan dibilang tidak apa-apa, tapi sorenya aku tetap kontrol ke dokter B. Obat pereda nyeri tetap diminum sampai dengan Selasa, dan sariawan hanya disuruh kumur daun sirih. Memar di bawah lidah katanya bukan dari akibat cabut gigi, tapi memang karena kondisiku yang sering memar tanpa sebab.

Ya sudah, buat anakku wedok, nanti kamu operasi impaksinya di Jakarta aja ya dek, hehe..


CABUT GIGI (PART 1)

Sudah berapa kali anda dicabut giginya? Aku udah 1, 2, hmmm…, 6 kali untuk 6 buah gigi. Dan tidak ada satu kalipun dari 6 kali pencabutan itu aku enggak deg-degan, hehe..

Cabut gigi pertama adalah geraham bungsu kanan atas. Waktu itu masih muda, gagah berani. Suami masih dinas di Departemen Transmigrasi, depan TMP Kalibata, jadi aku kesanalah, sekitar tahun 1997. Gigi geraham bungsu ini tumbuh miring, jadi memang harus dicabut. Tanpa pikir panjang, berangkatlah kesana, antri di Poli Giginya, lumayan cari gratisan. Setelah ditensi oleh perawat dan menunggu beberapa saat dipanggillah aku, dan ditangani oleh seorang dokter gigi laki-laki. Dengan tenaga penuh, sampai berdiri pak dokter ini, satu kaki naik ke kaki kursi pasien, tercabutlah gigi geraham bungsuku. Satu gigi utuh! Dokter giginya paten, hehe..

Cabut gigi kedua juga adalah geraham bungsu tapi yang kiri atas. Sama keluhannya, tumbuh miring, hanya saja kali ini sudah agak gempil sedikit, kena sikat gigi waktu gosok gigi. Berdasar pengalaman tahun sebelumnya, aku pilih Poli Gigi di Departemen Transmigrasi lagi. Saat pendaftaran aku bilang kalau aku minta ditangani dokter gigi laki-laki. Tapi ternyata aturan baru kita gak bisa milih dokter gigi mana untuk menangani. Waduh, piye iki? Ya sudahlah, diberani-beranikan, tanggung sudah jauh-jauh kesini. Dan benar, yang menangani dokter perempuan, setelah dibius, gigiku diremek dulu, baru dicabut sedikit-sedikit, thil thil thil, begitu. Gak berapa lama, diam, bu dokter malah asyik nonton tv, telenovela sepertinya, sementara aku masih mangap. Kutanya, “Udah selesai dok?”. “Belum. Bentar ya, tunggu dokter H (dokter gigi laki-laki), biar Beliau ambil tatah dulu, ini ada yang ketinggalan sedikit”, katanya. Haduh, tatah? Gigiku ditatah? Baru mikir aja sudah ngilu rasanya. Langsung saja aku nawar ama bu dokter dan katanya kalaupun ditinggal juga gak apa-apa, karena nanti bisa keluar sendiri, teorinya. Ya sudah, sigap aku pun turun dari kursi periksa dan pamit, ngacir, haha..

Cabut gigi ketiga terjadi bertahun-tahun kemudian, mungkin sepuluh tahun kemudian, tahun 2008. Si gigi bungsu yang ditinggal bu dokter akhirnya enggak nongol-nongol. Dan sudah beberapa kali gusiku bengkak, keputusan terakhir harus operasi. Haduh, kali ini aku harus cari dokter gigi yang paling kompeten dan harus sudah rekomen. Akhirnya sesuai rekomen seorang teman kantor, pilihan jatuh pada dokter spesialis bedah mulut (SpBM) di suatu klinik di Jalan Wijaya, Jakarta. Telpon dulu, janjian dan disebutkan keluhannya. Akhirnya pada hari yang ditentukan, datanglah kesana diantar sopir teman. Ternyata kliniknya komplit, bahkan rontgen sebelum cabut juga hanya di ruang sebelah. Ditangani oleh dokter gigi N, SpBM, dokter anestesi dan seorang perawat. Suntik bius tidak terasa sakit sama sekali, dan proses operasi tergolong lumayan cepat meski gigi agak susah dikeluarkan karena terletak agak dalam di gusi dan kecil, tinggal sepotong. Sungguh dokter yang ahli. Selesai operasi pun tidak bengkak dan tidak sakit. Seminggu kemudian buka jahitanpun tidak masalah.

Cabut gigi keempat adalah geraham nomor 5 kiri bawah. Ini cerita lebih dramatis lagi. Peristiwa terjadi sekitar tahun 2010. Awalnya adalah perawatan gigi karena berlubang, di dokter gigi klinik dekat rumah. Ternyata arsen bocor, sampai dengan mematikan gusi, dan tidak ada warning sebelumnya. Sabtu karena curiga kok gusi tiba-tiba menghitam, arsen dibuang dibersihkan oleh seorang teman yang dokter gigi di daerah Tangerang, dan ditambal sementara. Disarankan oleh teman itu untuk dicabut saja. Karena posisi gigi yang miring (gingsul di dalam), maka harus cari lagi dokter gigi SpBM. Kali ini di dokter Z, SpBM di RSPP, karena sebelumnya keponakan juga operasi 3 gigi tidur disitu dan rekomen. Di hari yang ditentukan aku datang kesana dengan diantar sopir. Ternyata pas kebetulan keponakan kontrol, jadi di dalam ruang periksa masih ada kakak. Jadilah ditunggu oleh kakak. Ternyata setelah dicabut 1 gigi, gigi sebelahnya (geraham nomor 4) juga harus dicabut, karena gusi matinya nyampai disitu, dan harus kuret gusi. Waduh, untung ditemani kakak, dan dokter yang menangani sangat tenang, ahli dan profesional. Dengan dibantu oleh seorang perawat yang terampil, sementara keterangan detail terpampang di video, camera kecil ke gigi
dan gusi. Saat suntik biuspun tidak terasa sakit. Akhirnya proses cabut gigi selesai dengan sukses, pendarahan cepat berhenti, tidak bengkak, dan tidak ada masalah saat lepas jahitan.

Sebagai cerita tambahan, setelah cabut gigi yang keempat ini, aku menuntut ganti rugi materiil tertulis pada klinik dan dokter gigi yang menangani perawatan gigi yang menyebabkan arsen bocor. Sengaja hanya permintaan ganti rugi materiil dan tidak termasuk immaterial supaya tidak berpanjang-panjang urusan. Sebesar biaya yang sudah dikeluarkan, plus nanti biaya kontrol dan pembuatan gigi palsu. Tuntutanku dipenuhi sesuai permintaan, dengan dibantu keterangan dari 2 orang teman SMA yang berprofesi sebagai dokter gigi selaku saksi ahli dari pihakku.

Cabut gigi yang kelima kembali aku lakukan di RSPP, dengan dokter yang sama, dengan menyetir sendiri, ditemani anakku, Desember 2016. Kali ini geraham kiri yang ke 6 yang sudah tidak bisa dipertahankan. Sudah dicoba ditambal berkali-kali. Saat ini sudah terlalu besar lubangnya. Akhirnya setelah ditambal sementara oleh teman yang dokter gigi, berangkatlah diriku dengan gagah berani ke RSPP. Janjian jam 12 ternyata sampai sana masih pada istirahat. Ya sudah makan sate ayam
legendaris dulu di depan RS. Setelah makan, antri dulu sebentar, barulah tiba giliranku masuk ruang periksa. Masih menawar aku, tanya dokter apakah gigi masih mungkin dipertahankan. Ternyata sudah tidak bisa dan harus dicabut saat itu juga. Ya sudah, berani lah wong sudah pengalaman dan dokternya ahli. Akhirnya sukses cabutnya, dan antri dulu di apotek untuk ambil obat. Obat harus diminum sejam kemudian, dan ternyata waktu masih di parkiran RS sebelum pulang, waktu sudah menunjukkan satu jam. Langsung aja anakku buru-buru nyuruh mamanya minum obat. Soalnya sudah dipesan sama pak dokter tadi, “Mas, nanti kalau sudah sejam, mamanya suruh minum obat ya, sebelum sakit. Nanti
kalau sakit, mas nya nanti dimarah-marahin”. Haha, rupanya takut dimarahin mamanya dia. Akhirnya sejam kemudian, nyetir sendiri, sambil masih gigit kassa kedua, nyampailah aku di rumah. Maklum, di Jakarta, meski jarak hanya 16 km, tapi macet.

Seminggu kemudian buka jahitan di Jogja. Kirain di dokter gigi umum bisa, ternyata harus ke SpBM lagi. Males. Jadilah ke RS swasta deket rumah aja. Tanpa bilang mau buka jahitan, dan gak ditanya, akhirnya masuk juga ke ruang periksa gigi. Ditangani dokter gigi umum perempuan yang masih lumayan muda. “Oh, buka jahitan bu. Bisa..”, begitu katanya dengan tenang. Ternyata agak lama, engek-engek-engek, gak kelar-kelar. Sampai agak sakit gusi. Dengan santainya, dengan tetap berusaha, bu dokter bilang ke perawatnya, “Wah, mbak, ini guntingnya kok gak tajem ya?". Waduh, udah tau gak tajem kok diterus-terusin ya? Tapi akhirnya bisa juga terangkat itu jahitan, padahal ada 4 jahitan. Lumayan lama. Keuar dari tempat tempat periksa, aku duduk dulu sebentar di bangku tunggu. Istirahat sebentar, sampai reda denyut-denyut di gusiku, hadeehh..
 

My Notes Template by Ipietoon Cute Blog Design