Sabtu, 19 September 2020

LAWUH TAHU TEMPE

Cerita ini bergulir karena tergelitik dari cerita teman jaman awal-awal masuk PNS, dan sepertinya kok mesakke nemen, untung bojoku orak, hehe..

Waktu masih pacaran dulu, suami sudah bercita-cita pengen bekerja sebagai PNS. Sebuah cita-cita yg absurd menurutku, kala itu. Lha aku yg punya bapak PNS aja gak mau nantinya kalo disuruh kerja jadi PNS. Waktu saya masih kecil, kami sekeluarga hidup berkecukupan dengan Bapak yang menjabat Kepala Balai Kecil. Waktu itu saya pikir gaji Bapak besar, Kepala Balai loh. Ternyata itu semua ditopang oleh Ibu yang mempunyai usaha catering. Saat menginjak tahun kedua kuliah, saat memenuhi syarat-syarat penerima beasiswa, salah satunya adalah surat keterangan pensiun bapak. Saya tertegun membacanya, 200 ribu. Uang segitu jaman itu memang bisa membayar uang kuliah saya 2 semester. Tapi 2 kakak yg lain yg masih kuliah di PTS? Belum buku-buku mereka yg tebal dan mahal (anak teknik). Belum untuk makan, bensin, dll. Waduh, berat nian tugas Ibu ternyata selama ini.

Eh, lha kok sekarang pacarku bilang begitu. Aku tertegun untuk kedua kali. Jaman old, pacaran itu untuk menyamakan persepsi, bukan hanya sayang-sayangan kayak anak jaman now. Lamaaa aku berpikir, tapi untung saat itu kami sudah sama-sama dewasa, jadi pola pikir sudah matang. Apa yg kubutuhkan? Materi atau hal yang lain? Keinginan kepingin jadi PNS itu diutarakan calon, karena melihat gaya hidupku yg sedikit agak hedon, kala itu. Tapi menilik bahwa calon ini orangnya tenang, bisa membuat hati nyaman, stabil, selalu optimis, sesuai apa yg kubutuhkan saat itu, aku, yang masih terkadang labil. Duit iso digoleki bareng. Wislah, lanjuuttt, hehe..

Kemudian hakok beneran, setelah sempat kerja sebentar di perusahaan swasta, calon ini diterima menjadi PNS, setelah melalui proses panjang. Kok iso yo, padahal kalo saja seleksi masih pake IPK kayak sekarang, mesti raiso, hehe.. Tapi sudah menjadi kehendak Allah. Iseng aku tanya beliau, "Nek aku ra nyambut gawe rapopo mas?" Jawabnya sungguh mencengangkan, "Rapopo". "Tenan?", tanyaku lagi mencoba meyakinkan. "Iyo", jawabnya mantap. Tapi dengan kalem, ditambahi jawabannya, "Asal gelem mangan lawuh tahu tempe.."

Weehh, hayo wegaaahhh, haha.. Lha aku anakke wong catering jee, dulu makan lauk apa aja ada. Tinggal milih, nyomot, yg mana aja boleh sama staffnya Ibu, haiyo wong anakke sing duwe, wkwk.. Jadilah saya, saat itu tetap bekerja, dengan ijin suami, niat ingsun membantu keuangan keluarga, dan bisa makan tahu, tempe, telur, ayam, udang, dll. Jadi, tidak ada cerita mesakkake di cerita saya sebagai istri PNS. Alhamdulillah, hehe..




Selasa, 01 September 2020

10 KOTA IDAMAN

Kemarin di beberapa WAG beredar picture yang memberikan urutan 10 kota idaman. Nomor 1 adalah Yogyakarta. Dan banyak teman serta saudara yang mengaminkannya. Tapi taukah teman, meski sekarang aku sudah pensiun dini dan tinggal di Jogja lagi, aku tidak termasuk yang mengaminkannya? Paradoks banget, hehe..


Bagiku, tinggal di kota mana saja bisa menjadi idaman, jika itu berarti dekat dengan orang yang kau cintai. Cintai tidak selalu harus kekasih/suami/istri loohh. Bisa juga anak, ibu/bapak, atau saudara2 kita. Klise? Mungkin. Tapi bagiku itu fakta dan pernah kurasakan, 27 tahun yang lalu. Dan fakta itu masih benar adanya sampai dengan sekarang. Nyatanya bahwa tinggal di Jakarta 22 tahun yang kata bu Tedjo, keras, aku merasa biasa aja tuh? Kalo tak bisa dibilang menikmati ya paling tidak mensyukuri. Dekat dengan suami, anak2, saudara2, teman2 kantor, teman2 sekolah/kuliah, tetangga yg baik2. Suami dan aku bekerja dengan baik, anak2 sekolah dengan baik. Idaman.

Kenapa bisa begitu? Flashback, cerita dimulai bulan Desember tahun 1993. Lama bingits ya, hehe.. Sebagai orang yang lahir dan besar di Jogja, kurang idaman apa coba kotaku ini. Asyik buat sekolah/kuliah, banyak tempat nongkrong, kala itu. Alkisah, malam minggu saat itu, karena gabut (istilah anak jaman now), jalan2lah aku naik motor keliling2 Jogja, dan berakhir dengan berhenti, thethek istilahnya, di depan benteng Vredeburg. Melihat orang lalu-lalang disitu saja biasanya akan menghibur hati, damai, tentram. Tapi tidak malam itu. Karena saat itu untuk pertama kalinya sejak 6 bulan sebelumnya, aku malam minggu sendirian, karena kekasihku ada di Jakarta, sudah diterima bekerja disana. Aku merasa sunyi di tengah keramaian. Sungguh rasa yg aneh.

Dari situlah kemudian aku menyadari bahwa sebenarnya bukanlah tempat atau kota yg bisa membuatmu bahagia. Rasa itu ada di hati.

Jakarta, kota yang menurutku biasa saja tadinya, plus macet dgn segala tetek bengek gak karuannya menjadi indah kala itu, ketika Januari 1994 kemudian aku menyusul kesana, karena diterima bekerja. Nongkrong di Blok M, jalan2 di Citraland, naik bus kota tanpa AC ke Pesing, naik motor ke Bekasi via Pondok Gede, jalan kaki menyusuri jalan Sudirman, OR pagi di Monas, menjadi indah saja tuh? Hehe..

Nah, sejak saat itu, jika ada yg berbicara dengan menunjukkan wajah heran kepadaku, kok bisa, seorang yg lahir dan besar di Jogja, mau dan betah hijrah ke Jakarta? Aku akan tersenyum dan berujar, "The world is only a place, the truly happines is in your heart"..




 

My Notes Template by Ipietoon Cute Blog Design