Cerita ini bergulir karena tergelitik dari cerita teman jaman awal-awal masuk PNS, dan sepertinya kok mesakke nemen, untung bojoku orak, hehe..
Waktu masih pacaran dulu, suami sudah bercita-cita pengen bekerja sebagai PNS. Sebuah cita-cita yg absurd menurutku, kala itu. Lha aku yg punya bapak PNS aja gak mau nantinya kalo disuruh kerja jadi PNS. Waktu saya masih kecil, kami sekeluarga hidup berkecukupan dengan Bapak yang menjabat Kepala Balai Kecil. Waktu itu saya pikir gaji Bapak besar, Kepala Balai loh. Ternyata itu semua ditopang oleh Ibu yang mempunyai usaha catering. Saat menginjak tahun kedua kuliah, saat memenuhi syarat-syarat penerima beasiswa, salah satunya adalah surat keterangan pensiun bapak. Saya tertegun membacanya, 200 ribu. Uang segitu jaman itu memang bisa membayar uang kuliah saya 2 semester. Tapi 2 kakak yg lain yg masih kuliah di PTS? Belum buku-buku mereka yg tebal dan mahal (anak teknik). Belum untuk makan, bensin, dll. Waduh, berat nian tugas Ibu ternyata selama ini.Eh, lha kok sekarang pacarku bilang begitu. Aku tertegun untuk kedua kali. Jaman old, pacaran itu untuk menyamakan persepsi, bukan hanya sayang-sayangan kayak anak jaman now. Lamaaa aku berpikir, tapi untung saat itu kami sudah sama-sama dewasa, jadi pola pikir sudah matang. Apa yg kubutuhkan? Materi atau hal yang lain? Keinginan kepingin jadi PNS itu diutarakan calon, karena melihat gaya hidupku yg sedikit agak hedon, kala itu. Tapi menilik bahwa calon ini orangnya tenang, bisa membuat hati nyaman, stabil, selalu optimis, sesuai apa yg kubutuhkan saat itu, aku, yang masih terkadang labil. Duit iso digoleki bareng. Wislah, lanjuuttt, hehe..
Kemudian hakok beneran, setelah sempat kerja sebentar di perusahaan swasta, calon ini diterima menjadi PNS, setelah melalui proses panjang. Kok iso yo, padahal kalo saja seleksi masih pake IPK kayak sekarang, mesti raiso, hehe.. Tapi sudah menjadi kehendak Allah. Iseng aku tanya beliau, "Nek aku ra nyambut gawe rapopo mas?" Jawabnya sungguh mencengangkan, "Rapopo". "Tenan?", tanyaku lagi mencoba meyakinkan. "Iyo", jawabnya mantap. Tapi dengan kalem, ditambahi jawabannya, "Asal gelem mangan lawuh tahu tempe.."
Weehh, hayo wegaaahhh, haha.. Lha aku anakke wong catering jee, dulu makan lauk apa aja ada. Tinggal milih, nyomot, yg mana aja boleh sama staffnya Ibu, haiyo wong anakke sing duwe, wkwk.. Jadilah saya, saat itu tetap bekerja, dengan ijin suami, niat ingsun membantu keuangan keluarga, dan bisa makan tahu, tempe, telur, ayam, udang, dll. Jadi, tidak ada cerita mesakkake di cerita saya sebagai istri PNS. Alhamdulillah, hehe..