Selasa, 26 November 2019

PEOPLE CHANGE, SO DO I!

Lucu juga baca komentar netizen tentang Agnez Mo yang bicara bahwa dia bukan berdarah Indonesia. Mereka bilang bahwa, gotta say i prefer the old agnes, but again, people change..

Terlepas dari kontroversi berita itu, tentang perubahan ini lah yang dari dulu menggelitikku. Aku saat ini tak pernah setuju dengan statement orang yang bilang ya ini lah aku, aku ya aku, terima apa adanya. Ketika itu berkaitan dengan hal-hal yang buruk, misal temperamental, kurang empati, nyinyir, baperan, dll. Terasa paradox tidak dengan pendapat paragraf pertama? Jadi manusia bisa berubah tidak?

Kalo aku sih cenderung setuju bahwa manusia sebagai makhluk sosial, makhluk dinamis, sangat amat bisa berubah. Berubah ke arah yang buruk saja bisa kok, masak berubah ke arah yang baik gak bisa? Misal, ada orang yang bilang, suamiku dulu orangnya sabar loh, ngemong, dll yang baik-baik. Sekarang kok berubah, jadi gak sabaran, agak kasar, dll. Lha itu bisa berubah? Kenapa giliran ke arah kebaikan orang cenderung berkata, ya ini sudah sifatku? Justifikasi? Hehe...

Suatu hari saat awal-awal aku menjadi manajer, saat itu usiaku 31th, manajer termuda saat itu. Masih temperamental, grusa-grusu, menyelesaikan masalah dengan emosi. Saat itu, direkturku berkata, sabar tih, ya itulah proses, kamu akan lebih bijak nanti di usia 40an. Dalam hati, meski gak ngeyel langsung dengan boss, aku berkata, ya mosok bisa orang berubah, aku ya aku, seperti ini, galak, tegas, apa adanya. Memegang 2 jabatan langsung, manajer akuntansi dan keuangan, waktu itu aku berpikir, jika tidak galak, tegas, mana bisa orang akan mentaati, sesuai posting, tak sembarangan menggunakan uang perusahaan.

Banyak yang terjadi setelah itu, proses pendewasaan diri, baik kusadari maupun tidak. Asal kita mau membuka diri, bahwa hidup ini adalah pembelajaran yang panjang. Banyak hikmah yang bisa kita petik. Terkadang banyak nasehat sederhana dalam kalimat sederhana. Aku ingat dulu saat masih menjadi staff, tapi bagian verifikasi bukti, kasieku pernah berkata sedikit saat aku berselisih dengan seorang kepala proyek. Nothing personal, katanya. Itu artinya, aku harus memisahkan perasaan personalku terhadap sang kepala proyek, dengan judgement profesi terhadap bukti. 2 kata itu kutulis besar2 di screen saver komputerku. Supaya ingat dan tidak baperan. Meski susah, saat itu, aku berusaha belajar hal sederhana itu. Dan kata2 itu tetap menjadi peganganku dalam bekerja, hingga aku pensiun dini. Kata2 yang sederhana, tapi penuh makna, jika saja kita mau memahaminya dan menerimanya.

Di usia 40, 5 tahun sebelum pensiun dini, aku harus mempersiapkan beberapa anak buahku untuk menjadi kandidat penggantiku. Aku berusaha mengajarkan banyak hal seperti yang dulu atasanku ajarkan padaku, termasuk bahwa orang bisa berubah, ke arah perbaikan. Tidak mudah sih, tapi saat itu sedapat mungkin aku tetap berusaha.

Dan kini, di usia 48 tahun, 3 tahun setelah pensiun dini, masih banyak orang yang berpendapat sama, denganku saat itu, saat usia 31, hehe, bahwa aku ya aku, tak bisa berubah. Dan mungkin akupun akan terus meyakinkan, tak akan bosan mengingatkan, siapapun itu, bahwa perubahan itu ada, dan bisa. Berubah tidak selalu harus dari A menjadi B, tapi mungkin dari A menjadi A' atau A". Jadi jangan pernah takut akan perubahan, jangan pernah bilang tak bisa, jika itu ke arah kebaikan! Salam..

Jumat, 15 November 2019

CANDRA

Begitu dia biasa dipanggil, dan memang nama lengkapnya hanya itu, tanpa nama depan maupun belakang. Anak buahku dulu waktu masih ngantor, anak yang baik, rajin, pintar, dan suka bercanda. Meninggal tahun 2016, di usia 31 tahun, masih muda. Dan bahkan sampai kini terkadang aku masih tak percaya. Kadang-kadang lupa, pengin cerita sesuatu yang biasanya kuceritakan padanya. Kadang merasa jika menemukan satu peristiwa lucu, masih teringat bahwa dia pasti akan tertawa..., jika masih ada. 11 tahun mengenalnya bukan waktu yang singkat. Awal pertemuan kami, dia adalah anak magang di kantor, di divisiku, divisi akuntansi. Dengan penampilan yang tak biasa, rambut dicat coklat model njegrak, enggak klimis, mata coklat, pakai softlense, karena aslinya dia berkacamata. Tapi jangan tanya hasil kerjanya, karena memang pada dasarnya anak yang cerdas, gampang diajarin, logikanya juga jalan, ketika coba kuuji dengan pertanyaan sederhana hitungan pajak. Rajin juga, pekerjaan cepat selesai. Sehingga ketika magang selesai, kutawarkan untuk kerja di kantor, meski dia cuma lulusan D2. Dengan melalui prosedur resmi psikotest dll, dia lulus. Sebagai end user tapi aku wanti-wanti sebelum dia test, belajar yang bener ya, pake jaket ya, soalnya tempat test nya dingin banget, jangan lupa sarapan dan bawa uang buat makan siang, karena test sampai sore, hehe.. Singkat cerita, dia diterima kerja. Alih-alih berpenampilan sama, entah siapa yang bilang, bercanda sambil nakut-nakutin, dia masuk kerja dengan penampilan berbeda. Rambut dicat hitam, agak rapih sekarang, softlense ganti yang bening. Kata dia disuruh pak Anu, jangan dicat rambut, soflense jangan warna. Aku bilang, gak masalah sih penampilan, asal kerjanya bener, ada-ada aja yang bilang tuh, haha.. Selama 11 tahun itu, Candra bekerja di kantor pusat, proyek dan kemudian kantor pusat lagi. Bahkan di tahun-tahun akhir hidupnya dia ambil kuliah S1. Aku mendorongnya untuk maju, berharap tinggi padanya, mengajarinya segala hal-hal teknis dan non teknis tentang akuntansi, keuangan, perpajakan. Cara menghadapi orang lain, dan belajar tidak membawa perasaan personal dalam bekerja. Candra adalah seorang Tionghoa, dengan saudara campur-campur. Ayah sudah meninggal, Ibu masih konghucu, saudaranya ada yang muslim ada yang kristen. Waktu penerimaan, dia masih kristen. Sekitar 2 tahun setelah bekerja, Ibunda meninggal, dan dikremasi. Otomatis dia yang tadinya yatim, sekarang menjadi yatim piatu. Segala hal kemudian seperti menjadi kewajibanku untuk menjadi Ibunya, meski dia tak meminta. Bahkan ketika pada pilihan akan menikah, aku bilang, ini anak baik banget sama kamu, pinter, sudah kerja mapan, mau cari apa lagi? Dan akhirnya memang mereka menikah, dan punya baby, yang masih berumur 4 bln ketika Candra meninggal. Sekitar 1 tahun setelah Ibunya meninggal, Candra memutuskan untuk menjadi mualaf. Bukan aku yang mempengaruhi atau siapapun, aku pun agak kaget mendengarnya. Rupanya dia di tempat kost juga dirawat oleh kakak-kakak muslim sekitarnya, dengan penuh kasih sayang. Dan dari kakak itu lah dia berketetapan hati menjadi muslim. Kemudian belajar sholat, belajar puasa. Aku masih ingat puasa pertamanya. Bagaimana dia lemas di meja depanku, gak bisa kerja, dan kerjanya hanya menghitung jam saja. Dan tahun pertama puasanya itu dia sukses hanya bolong 2 hari, yang sehari itu pas kusuruh ke kantor pajak, haus banget, liat tukang es kok enak banget bunda, katanya, haha... Dan tibalah saat dia harus disunat. 17 Agustus, tahunnya lupa. Kebetulan memang ada libur long weekend, tapi dia mengajukan cuti 1 minggu. Aku tanya, lama bener can, anakku laser langsung cepet. Katanya, ini sunat yang biasa bunda, kata kakak angkatku ini aja. Ya sudah, ijin kutandatangan, karena manut kakaknya saja lah toh yang merawat mereka. Ketika seminggu kemudian dia masuk, dengan pedenya dia tunjukkan video sunatnya yang mengerikan karena berdarah-darah. Meski heran ya kutonton saja, belum pernah lihat je sunat orang sudah dewasa. Ternyata di belakang kudengar suara tawa, seorang staff ku yang lain yang senior, dia lah yang memberitahu Candra bahwa dia "harus" memperlihatkan video itu, jika tidak extend cutinya tidak akan kusetujui, haha.. Juni 2016, hari Jumat, bulan Ramadhan, waktu yang indah untuk menghadapNya, waktu itulah Candra berpulang. Sesal tiada tara di hatiku, bahkan dalam menulis ini pun aku masih menangis, menimbulkan tanya anakku yang melihatku. Januari 2016 aku memutuskan pensiun dini. Mengapa cepat sekali kamu meninggalkan dunia ini? Aku menyesal tidak merawatmu dengan baik saat sakit, padahal rentang waktu sakitmu cukup lama. Dimulai dari tiphus 2x, kemudian bronkuspnemonia, diakhiri dengan menginitis. Bahkan ketika menengok kelahiran anakmu, kamu sudah terlihat kurus. Kamu tidak mengindahkan nasehatku untuk lebih menjaga kesehatanmu. Aku tidak bisa berbuat banyak, karena sudah di Jogja, tidak menghadapi langsung. Biasanya aku akan bawel tiap hari, sampai kamu mau ke dokter atau dirawat di rumah sakit. Candra, apa ada masalah dengan selain kesehatanmu? Aku juga tidak tahu, karena saat itu aku juga sedang sibuk dengan banyak urusan di Jogja. Apa aku kurang memberikan bekal padamu, hingga kamu tak sanggup menghadapi segalanya sendiri? Sungguh aku menyesal. Aku teringat, dulu waktu SMA aku punya anjing, namanya Z. Kupelihara dari masih bayi, sampai gede, sampai aku kuliah, lulus, kerja di Jakarta, dan menikah. Z mati di hari pernikahanku, saat aku sedang dirias. Jadi dengan sudah dirias lengkap dengan paes kerik aku menguburkan Z, di pekarangan rumah veteran. Waktu itu aku pulang rabu, akad sabtu, almh Ibukku sudah bilang bahwa Z sakit, kubilang ya mah, lagi ribet, nanti kubawa ke dokter senin. Lha kok sabtu mati. Seolah-olah sudah selesai tugasnya menjagaku, karena kini aku sudah dijaga oleh suamiku. Airmata menetes saat itu, ku tak peduli jika eyeliner jadi luntur lagi. Candra, meninggal di tahun yang sama saat aku pensiun dini. Lagi-lagi kesalahanku meninggalkan orang yang kucintai, dan kurang peduli lagi. Maafkan bunda ya, semoga engkau memaafkan bunda. Wajahnya sungguh ganteng saat meninggal, putih bersih, dan seperti hanya tertidur saja. Sepanjang mendampingi pemakaman aku hanya bisa menangis saja, dan semakin menjadi ketika ibu mertuamu merelakan aku menangis berlama-lama disampingmu sambil berujar, ibu sudah seperti ibunya sendiri, kenal 11 tahun lebih, saya ibu mertuanya saja baru kenal 2 tahun ini. Semoga engkau tenang disana, anakku... Jogja, 16 November 2019, Bunda yang tiba-tiba merinduimu...
 

My Notes Template by Ipietoon Cute Blog Design