Rabu, 21 April 2021

Ora, Ora Nek Mati (Enggak, Enggak lah Kalo Mati)

Duluu jaman masih ngantor di Simprug, sekitar tahun 2008 kebawah, sering ada tukang gorengan lewat jika sore hari. Meski ruangan kita (ruang akuntansi & keuangan) diatas, Pak tukang gorengan sungguh aktif, beliau naik sampai atas, masuk ke ruangan kita dan nawarin, "1 atau 2?". Biasanya yang jawab Kasir kita, sesuai jumlah orang yang ada. 1 itu artinya 1 porsi, harga 5 ribu. Kalo 2 ya 2 porsi, harga 10 ribu. Alhasil, hampir tiap hari, tiap sore, kita makan gorengan. Hanya libur saat Kasir kita sedang batuk saja, hehe..


Nah, ada salah satu anak buahku yang sangat memperhatikan kesehatan. Kalo masing-masing kita enak aja main comot itu gorengan dan langsung leph, dia ambil 1, trus diperes-peres pakai tissue minyaknya. Ah lebay, dalam hatiku. Dia berkata, "Minyaknya banyak banget loh Bundaa..". Dengan santai ya kujawab, "Halaahhh, ora marakke mati wee (halaahhh, gak bikin mati aja)..". Sambil tetep dengan santainya makan langsung gorengan, dan disambut tawa anak buahku yang lain yang masing-masing juga sedang langsung makan gorengan.


Sebenernya kata-kata itu kujiplak dari temen kakakku, yang saat aku masih kecil, saat aku ikut kegiatan Mapala kampus kakakku, sepedaan sampai Goa Selarong, Mas temen ini makan tapi belum cuci tangan habis sepedaan. Ketika dibilang suruh cuci tangan, dia tetep aja makan, sambil bilang itu tadi, enggaklah kalo mati. Rupanya itu mungkin membekas di ingatan, karna memang sampai sekarang Si mas ini segar bugar. Tapi gak tau ya, kalo pulang sepedaan sakit perut, haha..


Waktu berlalu. Si anak buahku yang sangat memperhatikan kesehatan ini resign, pulang kampung untuk fokus ngurusin tanaman yang saat itu sedang booming, gelombang cinta, dkk. Katanya ngurusin tanaman seminggu menghasilkan sama dengan gajinya 1 bulan. Yasudah, tidak apa-apa. Bersamaan dengan itu, saatnya kami melakukan MCU, jadwal oleh kantor. Daann, hasilnya, sungguh mengejutkan. Hasil lab darah saya bagus, tapi hasil USG menunjukkan saya menderita Fatty Liver. Hatiku kemasukan minyak! Ato bahasa medisnya perlemakan hati!


Lha kok iso? Padahal tubuhku juga ideal, tidak obesitas. Pikir punya pikir, sambil bercanda, aku bilang ke Kasieku, "Ker, jangan-jangan aku kualat yo ama Vadjar (anak buahku yang resign itu)? Dulu sering ngeledek dia yang makan gorengan diperes-peres minyaknya. Ini sih bener, mati kagak, sakit iya, haha..". Dan Kasieku ini malah ikutan tertawa terbahak-bahak. Anehnya lagi, dari seruangan ini yang kena Fatty Liver hanya aku, hihi..


Akhirnya aku diet gorengan. 3 bulan penuh tidak berani makan gorengan. Untuk cemilan, bawa dari rumah, ya kentang, singkong, pisang, ubi, kacang, jagung, rebusss, haha.. Bahkan untuk makan siang aku juga pilih-pilih menu yang tidak digoreng. Setelah 3 bulan, cemilan masih rebus terus, tapi untuk lauk sudah berani kadang-kadang gorengan. Akhirnya, setahun kemudian setelah MCU lagi, hasilku sudah normal, alhamdulillah..


Sebenernya bukan hanya karna kualat juga sih, tapi mungkin memang secara genetik aku tidak bisa memakan gorengan berlebih. Jadi kalau orang lain makan 2 buah gorengan gak papa, di aku sudah ngaruh, 1 aja cukup. Ato kalo orang lain makan gorengan tiap hari gpp, di aku ya boleh sih, 1 aja, tapi gak tiap hari juga keles, hehe..


Yang jelas, sejak saat itu, aku gak pernah lagi ngeledek ato membatin orang yang sangat care terhadap kesehatan. Apalagi sampai berkata, "Ora, ora nek mati". Ya memang enggak mati sih, tapi sakit iya. Ya mending sehat lah daripada sakit, hihi..


Gorengan yang sekarang kuperes-peres minyaknya, dan cuman berani 1, dan buat lauk, dan gak tiap hari, hehe..


Senin, 19 April 2021

Ilmune Ra Kanggo (Ilmunya Tidak Terpakai)

Tulisan ini terinsiprasi oleh status temennya temen yang dokter, sudah ngecipris ternyata ilmune ra kanggo untuk mamanya. Dan ternyata terbukti baik-baik saja, wkwk..


Alkisah, suatu hari di tahun 1996 saat aku melahirkan anak pertama, di Jogja. Dengan sangu ala kadarnya dari Boss, ternyata uang Jakarta bisa untuk mondok di RS Swasta di Jogja kelas 1 Utama, tapi sekamar sendiri. Mayan, hehe..


Yang pertama, waktu itu baru awal-awal usum rawat gabung, jadi anak baru lahir, dijadikan 1 di kamar ibunya, dengan harapan agar bound lebih kuat. Kalo jaman dulu, sebelum saya persis, ada ruang bayi tersendiri, dan bayi dibawa ke kamar ibunya hanya saat menyusui. Saat itu pagi setelah melahirkan, bayiku (mastio) dibawa ke kamar, untuk disusuin. Setelah selesai, saya taruh di box bayi dorong yang sudah dibawa ke kamar. Saat itulah ibuku datang, dan bertanya, "Lho, bayine kok rung digowo meneh? Suwi men?" (Lho, bayinya kok belum dibawa lagi? Lama amat). Dan saat itulah aku menerangkan tentang konsep rawat gabung. Dan ibuku langsung menyergah, "Wah, ra bener ki, kowe kan ora iso istirahat mengko" (Wah, gak bener nih, kamu kan gak bisa istirahat nanti). Langsung deh Beliau telpon perawat dan minta bayi diambil kembali dengan sedikit pesan, "Pokoknya kesini hanya untuk menyusu ya mbak, habis itu diambil lagi, jangan lama-lama". "Iya bu", jawab perawatnya nurut ke ibuku yang terlihat sangat berwibawa, hehe..


Yang kedua, saat tiba waktunya pulang ke rumah setelah 3 hari di RS. Ibuku berkata, "He, sesuk wis muleh? Kok cepet men mung 3 dino, kamar bayi di rumah belum siap, extend aja jadi 5 hari" (He, besok sudah pulang? Kok cepat sekali cuma 3 hari). Dan mbak perawatnya lagi-lagi hanya mengaminkan perkataan ibuku. Yang di kemudian hari baru aku tau, ternyata bukan karena kamar bayinya belum jadi di rumah Ibuku di veteran, tapi Ibu menghendaki aku sudah benar-benar fit nanti di rumah pas giliran sendiri merawat anak, tanpa bantuan perawat, wkwk..


Yang ketiga, saat sudah pulang ke rumah. Karena anakku laki-laki, nyusunya sangat kuat. Sedangkan asiku belum banyak, serta aku tidak kuat makan banyak untuk mengimbanginya. Meski Ibuku selalu menyediakan makan malam kedua di kamar, sampai pagi tidak kusentuh. Akhirnya di pagi hari asiku habis. Anakku menangis. Kata ibuku, "Disambung aja pake susu formula, mesakke (kasihan) anakmu". Aku pun menurut. "Disendokin mah?", tanyaku. "Lha ngopo ndadak disendoki? (Lha kenapa harus pakai sendok?)", Ibuku malah ganti bertanya. "Kata dokter, nanti kalo pake botol, anaknya bisa bingung puting", jawabku. "Halahhh, ora, oraa, percoyo mamah wis (halahh, enggak, enggak, percaya mamah deh)", kata Ibuku pasti. Oke deh, nurut saja. Dan bener tuh, sampai saatnya disapih, gak ada tuh anakku namanya bingung puting, hehe..


Pokoknya, dokter, perawat, kalo sama Ibuku kalah semua. Ilmune ra kanggo, haha..


Aku saat bayi dalam buaian ibuku dan kedua anakku dalam buaianku.. 💕


Kamis, 01 April 2021

RINDU IBU

Ibuku tersayang meninggal tahun 2010. September 2010, di usia 73 tahun. Menyusul Ayah, yang sudah mendahului 2 tahun sebelumnya. Saat Ibu berpulang, aku, anak bungsu, usiaku masih 39 tahun waktu itu. Dengan kesibukan kantor yang masih banyak, urusan anak-anak yang masih kecil, urusan kuliah lagi, perlahan-lahan rasa dukaku berhasil sedikit demi sedikit menghilang. Rasa kehilangan, rasa menjadi yatim piatu, masih tergantikan dengan hadirnya suami, anak-anak, dan teman-teman kantor maupun teman-teman kuliah yang bertemu hampir setiap hari.

Tahun 2011 ketika aku pergi Haji, rindu itu masih belum pergi. Aku bisa mengumrohkan Ayahku, karena beliau Muslim. Tapi Ibuku seorang Katholik. Aku hanya bisa menangis tersedu-sedu di depan Ka'bah, setelah selesai sholat Duha. Dan biasanya suamiku akan dengan sabar menungguku berlama-lama di depan Ka'bah. Merindukan Ayah Ibuku. Mendoakan mereka. Tak disangka terkadang dalam setiap hening selesai isak tangisku, aku merasakan kehadiran Ayah Ibuku. Disana, di Masjidil Haram. Ayah dan Ibu, tidak hanya Ayah. Tak peduli apa kata orang, aku merasakan mereka disana. Aku sudah cukup bahagia. Ketika pulang ke Indonesia, kuceritakan dengan bahagia pada kakakku, bahwa Ayah dan Ibu ada disana, dan mereka bahagia.

Sekarang, terkadang aku iri dengan beberapa teman yang masih bisa menunggui ayah dan ibunya. Sekarang, rata-rata kami berusia 50th nan. Alangkah beruntungnya. Akan lebih banyak lagi nasehat, pelajaran hidup, yang bisa dicontoh dari mereka. Sekarang, baru aku merasa dulu masih terlalu muda ketika ditinggalkan orang tua. Masih banyak ilmu yang seharusnya bisa kupelajari jika saja. Hanya jika saja.

Aku rindu Ibuku. Ketika hati ini lelah, aku rindu Ibu. Karena keadaan, suami dan aku harus tinggal berjauhan sudah 5 tahun ini. Anak yang paling besar sudah bekerja di kota lain juga. Anakku yang kecil sudah sibuk dengan dunianya sendiri, kuliah dan teman-temannya. Ketika masalah mendera, aku rindu Ibu. Dan berfikir, jika Beliau masih ada, pasti dengan senang hati akan membantu dan biasanya Ibuku akan tau solusi dari semua masalah, ajaib dan hebatnya Ibuku. Meski aku anak paling kecil, aku tak tega untuk bercerita dengan kakak-kakakku, maupun berkeluh kesah, karena setiap keluarga juga punya masalah masing-masing. Hanya Ibu yang selalu mendengarkan. Bahkan terkadang tau bahwa kita punya masalah meskipun kita pendam.

Aku rindu Ibu. Ibuku yang kusayangi..



 

My Notes Template by Ipietoon Cute Blog Design