Setelah sekian lama, kuberanikan diri menulis blog ini. Tahun 2011, sudah 11 tahun yang lalu, saya & suami berangkat haji, setelah menunggu hanya 2 tahun lamanya. Waktu itu dalam hati, cepet men? Dan memang benar, 2 tahun lo, sudah ada panggilan manasik. Usia masih 40 waktu itu, merasa belum siap sih sebenernya. Tapi karna diajak suami, ya Lillahi ta'ala aja, ngikut suami, semoga dimudahkan, aamiin..
Apa yang akan saya ceritakan, mungkin tidak seperti yang dibayangkan, tidak indah. Butuh waktu lama untuk mengumpulkan keberanian menuliskannya, semoga bermanfaat. Hati ini tergerak ketika tahun ini musim haji tiba, dan ada seorang teman menulis status pamitan dan permohonan maaf di Fb.
Banyak hal ajaib terjadi saat haji yang kualami. Sampai sekarangpun aku masih berpikir, sebenarnya apa rencana Allah memperlihatkan semua itu padaku. Yang pertama, temperamen orang akan tetap terlihat aslinya disana, jika tidak ada niat memperbaikinya. Saat itu tempat menginapku di Mekah di maktab Misfallah, lantai 10. Saat akan naik lift, penuh, aku bersama teman2 sekamar, naik seorang bapak masih memegang rokok. Tentu saja kutegur, di dalam lift loh, kalau diluar ruangan masih masuk akal. Asapnya? Tur nek keslomot piye? "Pak, mbok tolong rokoknya dimatikan dulu, di dalam lift ini", kataku. Ee, tanpa disangka bapak ini malah marah, sambil teriak nengok ke belakang dia nanya, "Siapa yang berani larang saya? Mau saya bacok?". Aduh, langsung saja temen sekamar yang disebelah pegang tanganku dan berucap, "Udah bu, diam aja". Ya memang diam aku, shock.
Yang kedua, keserakahan. Saat antri makan di Mina. Kami antri dengan tertib, semua, satu2, baik ibu2 maupun bapak2. Ohya, saya naik haji reguler ya, bukan plus, dan jalur mandiri (tidak melalui badan/yayasan haji). Ternyata beberapa orang belakang gak kebagian. Loh kok bisa? Usut punya usut, ada serombongan orang kelompok lain, provinsi lain, nyerobot didepan. Banyak orang lagi, bergerombol. Peladen yang bukan orang Indonesia, ngasih aja. Dan itu terjadi tidak hanya sekali loo. Yasudah, akhirnya kita putuskan, tidak ada antrian lagi, diambil oleh ketua kelompok masing2, dan di dus ditulis nama ketua kelompok, dan saat ambil harus menunjukkan nama di kartu haji.
Yang ketiga, ketidaksabaran. Saat pulang ke Mekah selesai rangkaian haji. Kembali kita harus mencari makan siang sendiri. Nasi di penjual emperan depan maktab habis. Tentu saja kita harus nyebrang, ke resto depan yang jual lauk & nasi juga. Nasi arab tapi, gak papalah yang penting nasi, hehe.. Karna yang antri kebanyakan ibu2, meski saya dengan suami, ya sayalah yang antri nasi. Ternyata habis juga, nunggu matang sebentar. Gak masalah lah. Begitu matang, bungkusan nasi dibagikan, di deretan depan ada 2 ibu yang sama2 memegang bungkusan nasi pertama. Dan mereka berantem, saling berebut nasi. Sambil berteriak2. Masyaallah, hanya nasi loh itu, dan beberapa hari sebelumnya kita semua nangis bersama menyesali semua dosa & perbuatan kita di padang Arafah. Nyesek rasanya liat itu semua. Habis itu, jika nasi di maktab habis, aku gak nyari lagi, trauma rebutan. Mending beli bakwan yang gede2 itu, sebagai ganti nasi, kenyang, hehe..
Yang keempat, keegoisan. Saat sholat di Masjidil Haram, kala itu sendiri, karna bisa sholat di dalam, suami ada di shaf bapak2. Ngobrol dengan ibu dari provinsi lain. Beliau bertanya, "Sudah cium Hajar Aswad?". "Belum", kata saya. Kata pak ustadz juga kalo ibu2 gak usah ngoyo, tidak wajib juga. Ibu tersebut dengan bangga bercerita, bahwa beliau sudah, dengan membayar beberapa orang pengawal sehingga bisa mencapainya. "Orangnya bagus bu, gak terlalu mahal kok, harga segini real, nanti dia dan teman2nya yang buka jalan, lindungi kita dari orang2", katanya. Masyaallah, aku hanya tertegun mendengarnya. Diem ajalah. Apakah beliau tau, mereka itu untuk mengamankan jalan akan adu fisik, sikut sana sini, dorong, bahkan mungkin mukul, injak orag lain? Aku bener2 tertegun mendengarnya.
Ada lagi cerita tentang keegoisan ini. Adalah seorang ibu yang ingin ke Raudhah sendiri, meninggalkan kakaknya karna dianggap sudah tidak muda lagi, tidak gesit. Mengajak teman yang lain yang sama2 muda. Alhasil apa, disana dia samasekali tidak melihat karpet hijau lo. Bahkan ketika pergi bersama2 karna saat itu bersama rombongan, beliau disebelahku waktu masuk. Aku bilang, "Kita disuruh sholat sana bu, yang karpet ijo". "Mana, gak ada karpet hijau? Ini merah semua", katanya. Masyaallah, wong jelas2 kelihatan hijaunya. Sampai kakaknya yg kebetulan ada disitu juga mengingatkan, "Itu loo di depan sederet hijau semuaa". Akhirnya kita gandeng aja ke depan, sholat di karpet ijo, dan dia diam aja. Ketika akhirnya kesempatan berikutnya dia ajak kakaknya ke Raudhah lagi, kebetulan denganku, karna kakaknya itu lumayan dekat denganku, akhirnya di Raudhah wajahnya kembali berseri2. Karpet ijo, dia bisa melihatnya, Alhamdulillah..
Satu lagi yaa, cerita tentang keegoisan. Ada seseibu yang disana manjaa banget ama suaminya. Apa2 minta diladeni, bahkan makan yang belikan suaminya, kalo salah marah2. Kita sudah bilang, "Mbok ikut beli sana, bisa milih sendiri". Dia tak bergeming, malas katanya. Dan apa yg terjadi, beneran lo, dia akhirnya gak bisa bergerak, sakit. Flu lumayan parah lagi, padahal di maktab. Gak bisa bangun dari tempat tidurnya, ada kali 5 hari. Akhirnya habis itu, setelah sembuh, mereka kalo beli makan bersama2, hehe..
Sedangkan saya? Ya mengalami hal ajaib juga. Dari mulai sakit mata, jatuh saat pakai gamis, sampai suami yang ketipu orang di Masjidil Haram. Diambil hikmahnya saja. Sakit mata, memang diminta menjaga pandangan mata. Saat itu di Arab, memang wanitanya memakai pakaian tertutup, tidak memperlihatkan lekuk tubuh, bercadar bahkan. Tapi laki2nya, sungguh memanjakan mata kami ibu2. Ganteng2, bergamis kadang tipis, dan wangi. Nah, setelah sakit mata, pandang cukup sekali saja, habis itu istighfar, hehe.. Jatuh saat pakai gamis, ya rupanya disuruh gak terlalu pecicilan lagi. Itu lupa kalau lagi pakai gamis, lompat dari trotoar satu ke lainnya. Rupanya gamis sana gak ada belahan sampingnya, cupet, ya jatuh, haha.. Sedangkan untuk suami, itu karena greedy, mengharapkan keuntungan yang lebih besar, beli mata uang tertentu dari orang asing di dalam masjid. Ternyata setelah diuangkan ke money changer disana, zonk, tidak berlaku, jian..
Dari semua kejadian ajaib itu, aku berpikir, apakah hal2 tersebut akan diceritakan oleh beliau2 itu ya setelah pulang ke Indonesia? Sepertinya tidak. Cerita ajaib stay disana, cerita indah yang dibawa. Jadi, kalau sekarang ada orang pulang dari naik haji, aku gak pernah lagi bertanya cerita mereka disana. Cukup saling mendoakan, dan bersenang2, ngicipi pistachio dan kurma berbalut coklat, hihi.. Kalaupun ada yang tanpa diminta cerita, aku hanya tersenyum saja, Wallahu a'lam biswahab.
Waktu masih di Madinah, saat makan siang terakhir disana, dengan rombongan. Ada seorang bapak yang sudah sepuh, kita hormati, sangat baik, sangat santun, sangat sayang istri, diminta memberikan sedikit petuah. Kata Beliau, bahwa menjadi haji itu belum tentu mabrur. Haji hanya menjadi embel2 doang. Tanda haji mabrur apa? Adanya perubahan ke arah lebih baik, dan bermanfaat bagi orang lain, dimulai dari bermanfaat terhadap keluarganya sendiri. Sungguh kata2 itu sangat meresap ke dalam hati ini. Susah lo itu, bukan hanya sebulan dua bulan setelah haji, tapi disisa hidup kita setelahnya. Usaha itu adalah perjalanan panjang. Berubah sedikit demi sedikit gak papa. Hanya dari A menjadi A', belum bisa B gak papa. Belum bermanfaat bagi orang lain gak papa, minimal bagi keluarga sendiri. Bermanfaat itu tidak hanya urusan uang, bisa juga berbagi ilmu, motivasi, harapan, informasi, dlsb.
Setelah dipikir lagi, dengan segala keajaiban haji, dengan definisi mabrur yang berat, apakah bisa seseorang yang belum naik haji melakukannya? Bisa banget. Itulah yang menjadikan aku berkesimpulan, bahwa haji itu adanya di dalam hati, baik yang sudah pernah ke Mekah, maupun belum. Kesimpulan itu juga kudapat, ketika setelah selesai cerita beberapa cerita ajaib diatas, seorang teman kantor berucap, "Saya kok jadi tenang dalam hati ya bu. Tadinya hati selalu gundah, boro2 naik haji, buat makan, buat sekolah anak2 aja pas2an, istri masih buka warung juga di rumah. Meski rejeki itu Allah yang atur. Jadi saya belum bisa ataupun kalaupun sd meninggal belum bisa naik haji, yang penting jadi lebih baik & bermanfaat ya bu?". "Insyaallah pak..", jawabku.
Jadi apa yang sebenarnya membedakan yang sudah berhaji atau belum? Karna haji itu adanya di dalam hati..
Yogyakarta, 14 Juni 2022
Di dalam tenda Arafah |
Saat bermalam sejenak di Muzdalifah |
Bersama teman sekamar Mekah, di dalam tenda Mina |
Di depan Jumratal |
Di samping maktab di Mekah |
Di depan Ka'bah |
Suasana di dalam maktab suami |
Di depan pelataran Masjidil Haram |
Di depan Marwah (saat sa'i) |