Almarhum
Ayahku adalah orang yang tegas dan berwibawa, seperti orang tua jaman dahulu
pada umumnya. Meskipun begitu, di dalam hatinya, Beliau adalah orang yang
sangat sayang kepada keluarga, terutama anak-anaknya.
Waktu
dulu aku masih kecil, setiap sakit, sesibuk-sibuknya Beliau, pulang kantor
pasti menyempatkan diri memegang dahiku. Mengecek, panas atau tidak. Tak lupa
membawakan apapun permintaanku karena biasanya setiap aku sakit karena
menginginkan sesuatu. Entah itu boneka, buku, sepatu, atau perhiasan. Percaya
atau tidak, setelah dibelikan permintaanku, maka aku akan sembuh. Ada cerita
lucu tentang itu. Suatu saat aku ditanya oleh Beliau, “Kamu sakit memangnya
kepingin apa nduk?”. Kujawab bahwa aku menginginkan gelang kaki emas.
Dan pulang kantor Beliau membawakan gelang kaki emas besar, dan seperti biasa
aku langsung sembuh. Tapi 3 hari kemudian aku sakit lagi, ketika tahu bahwa itu
bukan gelang emas karena perlahan berubah biru dan luntur di kaki. Geli rasanya
kalau ingat cerita itu lagi.
Ketegasan
Beliau terlihat saat aku mulai beranjak dewasa. Waktu itu, usia dianggap dewasa
adalah ketika berumur 17 tahun. Tepat sehari setelah perayaan ulang tahun ke-17
ku, Beliau mengajak ke RT, RW dan Kelurahan untuk mengurus KTP. Tapi Beliau
hanya sebatas mengantar dan tidak ikut masuk. Kata Beliau waktu itu, aku
‘harus’ belajar mandiri. Satu hal penting yang banyak orang tua lupa (apalagi
masa sekarang ini) untuk mengajarkan kepada anak-anaknya: kemandirian.
Kewibawaan
Beliau yang paling aku kagumi tercermin dalam prinsip Beliau untuk selalu
berada pada koridor aturan. Ada cerita menarik terkait prinsip Beliau itu,
adalah saat aku mengurus SIM C pertama kali. Beliau samasekali tidak
menganjurkan untuk memakai biro jasa. Aku harus lulus sesuai aturan baik itu
teori maupun praktek dengan usahaku sendiri. Dibelikannya aku buku-buku tentang
rambu-rambu dan aturan berlalulintas, dan akhirnya aku lulus teori. Sedangkan
praktek? Jangan ditanya, aku tidak lulus! Tapi meskipun begitu masih ada
kesempatan ke-2. Dengan telaten, sepulang dari Samsat, Beliau mengajariku di
halaman kantornya dengan memakai kapur dan botol-botol di aspal. Dan untuk
ujian praktek ke-2, aku akhirnya lulus.
Ketelatenan
Beliau tentu saja merupakan cerminan kasih sayang kepada anak-anaknya. Seperti
juga ketika setahun kemudian tiba waktuku untuk belajar mengemudi. Setelah
selesai belajar mengemudi resmi di lembaga kursus setir mobil ternama di
Yogyakarta, Beliau dengan telaten setiap jam 5 pagi menyuruhku sendiri menyetir
mobil untuk membeli gudeg yang jaraknya sekitar 2 kilometer dari rumah. Perlahan-lahan
pintu gerbang pagar depan dibuka dan ditandai dengan botol oleh Beliau. Lama
kelamaan jika dirasa oleh Beliau aku sudah mahir, maka pintu gerbang pagar itu
akan ditutup separuh. Begitu sayang dan telatennya Beliau kepadaku.
Bahkan
ketika jatuh pada pilihan suami yang tidak sepenuhnya disetujui oleh Ibuku,
Beliau tidak marah. Beliau hanya bertanya menegaskan kepadaku bahwa si A ini
adalah lulusan Fakultas Anu, kerjanya nanti menjadi Anu, apakah aku sudah siap?
Ketika aku menangguk tegas, Beliau tidak bertanya lagi. Tanggung jawab, salah
satu hal penting lagi yang diajarkannya.
Itulah
Ayahku. Meski sebagian besar orang menilai Beliau galak dan kaku, tapi bagiku
Beliau adalah orang yang hebat. Berprinsip, berwibawa, penuh kasih sayang dan
mengajarkan banyak hal kepadaku.
Yogyakarta,
25 September 2016.
(Memperingati
8 tahun kepergian papah, 25 September 2008)...
Tahlilane kapan ?
BalasHapus