Senin, 06 Februari 2017

KENANGAN BERSAMA ALMARHUM AYAH (2016)

Almarhum Ayahku adalah orang yang tegas dan berwibawa, seperti orang tua jaman dahulu pada umumnya. Meskipun begitu, di dalam hatinya, Beliau adalah orang yang sangat sayang kepada keluarga, terutama anak-anaknya.

Waktu dulu aku masih kecil, setiap sakit, sesibuk-sibuknya Beliau, pulang kantor pasti menyempatkan diri memegang dahiku. Mengecek, panas atau tidak. Tak lupa membawakan apapun permintaanku karena biasanya setiap aku sakit karena menginginkan sesuatu. Entah itu boneka, buku, sepatu, atau perhiasan. Percaya atau tidak, setelah dibelikan permintaanku, maka aku akan sembuh. Ada cerita lucu tentang itu. Suatu saat aku ditanya oleh Beliau, “Kamu sakit memangnya kepingin apa nduk?”. Kujawab bahwa aku menginginkan gelang kaki emas. Dan pulang kantor Beliau membawakan gelang kaki emas besar, dan seperti biasa aku langsung sembuh. Tapi 3 hari kemudian aku sakit lagi, ketika tahu bahwa itu bukan gelang emas karena perlahan berubah biru dan luntur di kaki. Geli rasanya kalau ingat cerita itu lagi.

Ketegasan Beliau terlihat saat aku mulai beranjak dewasa. Waktu itu, usia dianggap dewasa adalah ketika berumur 17 tahun. Tepat sehari setelah perayaan ulang tahun ke-17 ku, Beliau mengajak ke RT, RW dan Kelurahan untuk mengurus KTP. Tapi Beliau hanya sebatas mengantar dan tidak ikut masuk. Kata Beliau waktu itu, aku ‘harus’ belajar mandiri. Satu hal penting yang banyak orang tua lupa (apalagi masa sekarang ini) untuk mengajarkan kepada anak-anaknya: kemandirian.

Kewibawaan Beliau yang paling aku kagumi tercermin dalam prinsip Beliau untuk selalu berada pada koridor aturan. Ada cerita menarik terkait prinsip Beliau itu, adalah saat aku mengurus SIM C pertama kali. Beliau samasekali tidak menganjurkan untuk memakai biro jasa. Aku harus lulus sesuai aturan baik itu teori maupun praktek dengan usahaku sendiri. Dibelikannya aku buku-buku tentang rambu-rambu dan aturan berlalulintas, dan akhirnya aku lulus teori. Sedangkan praktek? Jangan ditanya, aku tidak lulus! Tapi meskipun begitu masih ada kesempatan ke-2. Dengan telaten, sepulang dari Samsat, Beliau mengajariku di halaman kantornya dengan memakai kapur dan botol-botol di aspal. Dan untuk ujian praktek ke-2, aku akhirnya lulus.

Ketelatenan Beliau tentu saja merupakan cerminan kasih sayang kepada anak-anaknya. Seperti juga ketika setahun kemudian tiba waktuku untuk belajar mengemudi. Setelah selesai belajar mengemudi resmi di lembaga kursus setir mobil ternama di Yogyakarta, Beliau dengan telaten setiap jam 5 pagi menyuruhku sendiri menyetir mobil untuk membeli gudeg yang jaraknya sekitar 2 kilometer dari rumah. Perlahan-lahan pintu gerbang pagar depan dibuka dan ditandai dengan botol oleh Beliau. Lama kelamaan jika dirasa oleh Beliau aku sudah mahir, maka pintu gerbang pagar itu akan ditutup separuh. Begitu sayang dan telatennya Beliau kepadaku.

Bahkan ketika jatuh pada pilihan suami yang tidak sepenuhnya disetujui oleh Ibuku, Beliau tidak marah. Beliau hanya bertanya menegaskan kepadaku bahwa si A ini adalah lulusan Fakultas Anu, kerjanya nanti menjadi Anu, apakah aku sudah siap? Ketika aku menangguk tegas, Beliau tidak bertanya lagi. Tanggung jawab, salah satu hal penting lagi yang diajarkannya.

Itulah Ayahku. Meski sebagian besar orang menilai Beliau galak dan kaku, tapi bagiku Beliau adalah orang yang hebat. Berprinsip, berwibawa, penuh kasih sayang dan mengajarkan banyak hal kepadaku.

Yogyakarta, 25 September 2016.
(Memperingati 8 tahun kepergian papah, 25 September 2008)...


1 komentar:

 

My Notes Template by Ipietoon Cute Blog Design