Jumat, 15 November 2019

CANDRA

Begitu dia biasa dipanggil, dan memang nama lengkapnya hanya itu, tanpa nama depan maupun belakang. Anak buahku dulu waktu masih ngantor, anak yang baik, rajin, pintar, dan suka bercanda. Meninggal tahun 2016, di usia 31 tahun, masih muda. Dan bahkan sampai kini terkadang aku masih tak percaya. Kadang-kadang lupa, pengin cerita sesuatu yang biasanya kuceritakan padanya. Kadang merasa jika menemukan satu peristiwa lucu, masih teringat bahwa dia pasti akan tertawa..., jika masih ada. 11 tahun mengenalnya bukan waktu yang singkat. Awal pertemuan kami, dia adalah anak magang di kantor, di divisiku, divisi akuntansi. Dengan penampilan yang tak biasa, rambut dicat coklat model njegrak, enggak klimis, mata coklat, pakai softlense, karena aslinya dia berkacamata. Tapi jangan tanya hasil kerjanya, karena memang pada dasarnya anak yang cerdas, gampang diajarin, logikanya juga jalan, ketika coba kuuji dengan pertanyaan sederhana hitungan pajak. Rajin juga, pekerjaan cepat selesai. Sehingga ketika magang selesai, kutawarkan untuk kerja di kantor, meski dia cuma lulusan D2. Dengan melalui prosedur resmi psikotest dll, dia lulus. Sebagai end user tapi aku wanti-wanti sebelum dia test, belajar yang bener ya, pake jaket ya, soalnya tempat test nya dingin banget, jangan lupa sarapan dan bawa uang buat makan siang, karena test sampai sore, hehe.. Singkat cerita, dia diterima kerja. Alih-alih berpenampilan sama, entah siapa yang bilang, bercanda sambil nakut-nakutin, dia masuk kerja dengan penampilan berbeda. Rambut dicat hitam, agak rapih sekarang, softlense ganti yang bening. Kata dia disuruh pak Anu, jangan dicat rambut, soflense jangan warna. Aku bilang, gak masalah sih penampilan, asal kerjanya bener, ada-ada aja yang bilang tuh, haha.. Selama 11 tahun itu, Candra bekerja di kantor pusat, proyek dan kemudian kantor pusat lagi. Bahkan di tahun-tahun akhir hidupnya dia ambil kuliah S1. Aku mendorongnya untuk maju, berharap tinggi padanya, mengajarinya segala hal-hal teknis dan non teknis tentang akuntansi, keuangan, perpajakan. Cara menghadapi orang lain, dan belajar tidak membawa perasaan personal dalam bekerja. Candra adalah seorang Tionghoa, dengan saudara campur-campur. Ayah sudah meninggal, Ibu masih konghucu, saudaranya ada yang muslim ada yang kristen. Waktu penerimaan, dia masih kristen. Sekitar 2 tahun setelah bekerja, Ibunda meninggal, dan dikremasi. Otomatis dia yang tadinya yatim, sekarang menjadi yatim piatu. Segala hal kemudian seperti menjadi kewajibanku untuk menjadi Ibunya, meski dia tak meminta. Bahkan ketika pada pilihan akan menikah, aku bilang, ini anak baik banget sama kamu, pinter, sudah kerja mapan, mau cari apa lagi? Dan akhirnya memang mereka menikah, dan punya baby, yang masih berumur 4 bln ketika Candra meninggal. Sekitar 1 tahun setelah Ibunya meninggal, Candra memutuskan untuk menjadi mualaf. Bukan aku yang mempengaruhi atau siapapun, aku pun agak kaget mendengarnya. Rupanya dia di tempat kost juga dirawat oleh kakak-kakak muslim sekitarnya, dengan penuh kasih sayang. Dan dari kakak itu lah dia berketetapan hati menjadi muslim. Kemudian belajar sholat, belajar puasa. Aku masih ingat puasa pertamanya. Bagaimana dia lemas di meja depanku, gak bisa kerja, dan kerjanya hanya menghitung jam saja. Dan tahun pertama puasanya itu dia sukses hanya bolong 2 hari, yang sehari itu pas kusuruh ke kantor pajak, haus banget, liat tukang es kok enak banget bunda, katanya, haha... Dan tibalah saat dia harus disunat. 17 Agustus, tahunnya lupa. Kebetulan memang ada libur long weekend, tapi dia mengajukan cuti 1 minggu. Aku tanya, lama bener can, anakku laser langsung cepet. Katanya, ini sunat yang biasa bunda, kata kakak angkatku ini aja. Ya sudah, ijin kutandatangan, karena manut kakaknya saja lah toh yang merawat mereka. Ketika seminggu kemudian dia masuk, dengan pedenya dia tunjukkan video sunatnya yang mengerikan karena berdarah-darah. Meski heran ya kutonton saja, belum pernah lihat je sunat orang sudah dewasa. Ternyata di belakang kudengar suara tawa, seorang staff ku yang lain yang senior, dia lah yang memberitahu Candra bahwa dia "harus" memperlihatkan video itu, jika tidak extend cutinya tidak akan kusetujui, haha.. Juni 2016, hari Jumat, bulan Ramadhan, waktu yang indah untuk menghadapNya, waktu itulah Candra berpulang. Sesal tiada tara di hatiku, bahkan dalam menulis ini pun aku masih menangis, menimbulkan tanya anakku yang melihatku. Januari 2016 aku memutuskan pensiun dini. Mengapa cepat sekali kamu meninggalkan dunia ini? Aku menyesal tidak merawatmu dengan baik saat sakit, padahal rentang waktu sakitmu cukup lama. Dimulai dari tiphus 2x, kemudian bronkuspnemonia, diakhiri dengan menginitis. Bahkan ketika menengok kelahiran anakmu, kamu sudah terlihat kurus. Kamu tidak mengindahkan nasehatku untuk lebih menjaga kesehatanmu. Aku tidak bisa berbuat banyak, karena sudah di Jogja, tidak menghadapi langsung. Biasanya aku akan bawel tiap hari, sampai kamu mau ke dokter atau dirawat di rumah sakit. Candra, apa ada masalah dengan selain kesehatanmu? Aku juga tidak tahu, karena saat itu aku juga sedang sibuk dengan banyak urusan di Jogja. Apa aku kurang memberikan bekal padamu, hingga kamu tak sanggup menghadapi segalanya sendiri? Sungguh aku menyesal. Aku teringat, dulu waktu SMA aku punya anjing, namanya Z. Kupelihara dari masih bayi, sampai gede, sampai aku kuliah, lulus, kerja di Jakarta, dan menikah. Z mati di hari pernikahanku, saat aku sedang dirias. Jadi dengan sudah dirias lengkap dengan paes kerik aku menguburkan Z, di pekarangan rumah veteran. Waktu itu aku pulang rabu, akad sabtu, almh Ibukku sudah bilang bahwa Z sakit, kubilang ya mah, lagi ribet, nanti kubawa ke dokter senin. Lha kok sabtu mati. Seolah-olah sudah selesai tugasnya menjagaku, karena kini aku sudah dijaga oleh suamiku. Airmata menetes saat itu, ku tak peduli jika eyeliner jadi luntur lagi. Candra, meninggal di tahun yang sama saat aku pensiun dini. Lagi-lagi kesalahanku meninggalkan orang yang kucintai, dan kurang peduli lagi. Maafkan bunda ya, semoga engkau memaafkan bunda. Wajahnya sungguh ganteng saat meninggal, putih bersih, dan seperti hanya tertidur saja. Sepanjang mendampingi pemakaman aku hanya bisa menangis saja, dan semakin menjadi ketika ibu mertuamu merelakan aku menangis berlama-lama disampingmu sambil berujar, ibu sudah seperti ibunya sendiri, kenal 11 tahun lebih, saya ibu mertuanya saja baru kenal 2 tahun ini. Semoga engkau tenang disana, anakku... Jogja, 16 November 2019, Bunda yang tiba-tiba merinduimu...

0 komentar:

Posting Komentar

 

My Notes Template by Ipietoon Cute Blog Design